Oleh : Byoma
Ganendra
Kerajaan Romawi era Pra-Republik memang
menarik. Bagaimana mungkin dalam sebuah negara yang menggunakan sistem monarki,
pemimpinnya tidak dipilih berdasarkan garis keturunan, namun ditentukan berdasarkan rapat dari anggota
Senat?
Ketika seorang
raja Romawi wafat maka Romawi akan memasuki masa Interregnum di mana
kekuasaan akan berpindah ke tangan Senat. Senat kemudian akan menunjuk salah satu anggotanya yang
diberi nama Interrex untuk menjabat sebagai penguasa sementara sambil
memilih calon untuk menjadi raja yang baru. Masa jabatan Interrex sendiri
adalah lima hari kemudian atas persetujuan Senat,
Interrex akan menunjuk senator lainnya
untuk menggantikan tugasnya. Ketika Interrex sudah menemukan calon raja yang
baru maka dia akan menyerahkannya kepada Senat.
Senat kemudian akan meninjau calon tersebut dan jika sudah disetujui maka Interrex
akan memanggil Majelis Curiate untuk bersidang.
Majelis Curiate
inilah yang kemudian menyerahkan nama dari calon raja kepada rakyat dan rakyat
dapat menentukan pilihannya apakah mereka menerima atau menolak calon tersebut.
Bila calon tersebut sudah diterima oleh rakyat maka Raja akan naik tahta. Namun
sebelum raja terpilih benar-benar berkuasa, maka raja terpilih terlebih dahulu
menajalankan upacara keagamaan
yang dipimpin oleh seorang angur dan
kemudian menjalani proses serah terima jabatan Majelis Curiate kepada sang raja
terpilih. Setelahnya raja terpilih akan sah sebagai penguasa Romawi dan akan
berkuasa mutlak layaknya seorang raja.
Dari sini kita
melihat bahwa Monarki Romawi awal ternyata tidak menganut sistem monarki yang
kita kenal selama ini (kekuasaan
berdasarkan garis keturunan). Siapa saja berhak
menjadi raja di Romawi setelah melalui seleksi yang dilakukan oleh senat dan
disetujui oleh masyarakat Romawi. Asas
ketidaksamaan dalam arti kekuasaan kuat Raja dan asas kesamaan dalam arti siapa saja berhak menjadi pemimpin negara berlaku di Romawi pada
masa itu.
Situasi ini akan
mirip dengan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dicetuskan oleh profesor
dari Jerman bernama Otto Koelluter. Beliau mencetuskan adanya
bentuk dan sistem dari suatu negara yang menganut kedua asas kekuasaan tersebut secara bersamaan yaitu Autoritaren Fuhrerstaat. Autoritaren
Fuhrerstaat merupakan sistem yang dianut oleh negara-negara Fasis di era
kejayaan Fasisme dahulu khususnya diterapkan di Jerman dan Italia.
Dalam negara
Autoritaren Fuhrerstaat pemilihan dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu
yang melibatkan kesatuan-kesatuan sosial
dalam masyarakat, Dewan Fasis
sebagai organ utama partai Fasis dan juga masyarakat
negara itu sendiri. Ketiga elemen penting inilah yang berperan dalam proses
pemilihan kekuasaan itu sendiri. Dewan Fasis berperan sebagai penyeleksi atas
nama-nama calon yang diajukan oleh tiap-tiap kesatuan sosial masyarakat yang
kemudian dapat pula ditambahkan calon dari pihak Dewan Fasis itu sendiri atau
Dewan Fasis dapat pula mencoret nama-nama yang diajukan apabila dipandang tidak
cocok. Setelah
Dewan Fasis menyetujui nama-nama calon maka nama-nama tersebut akan diserahkan
kepada masyarakat dan masyarakat dapat menentukan pilihannya apakah setuju atau
menolak.
Dari situ dapat
kita tarik suatu kesimpulan bahwa tata cara pemilihan di negara Autoritaren
Fuhrerstaat memiliki konsep
yang sama dengan Kerjaan Romawi era
Pra-Republik.
Dewan Fasis disini berperan selayaknya Senat sekaligus Majelis Curiate dalam era Kerajaan Romawi sementara
kesatuan-kesatuan sosial dalam masyarakat berperan selayaknya Interrex dan
kemiripan lainnya bahwa keduanya melibatkan masyarakat umum dalam proses
pemilihan dengan kata lain
pemerintah dan partai tunggal bukanlah penentu mutlak atas siapa yang akan
duduk di kursi pemerintahan. Hanya saja perbedaannya dalam Kerajaan Romawi
sistem tadi digunakan untuk memilih seorang Raja yang memegang kekuasaan baik
itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif,
sementara untuk di
Autoritaren Fuhrerstaat sistem tersebut baru dipraktekkan saat pemilihan
anggota legislatif semata.
Kekuatan eksekutif belum sempat dipraktekkan sebab negara-negara Fasis sudah
terlebih dahulu runtuh ketika Perang Dunia II berakhir sehingga prosesnya tidak
diketahui hingga saat ini.
Namun sekalipun
demikian, analisis yang dapat saya simpulkan adalah bahwa seandainya sistem
Autoritaren Fuhrerstaat sempat melakukan pemilihan eksekutif untuk menentukan siapakah
yang akan menjadi Fuhrer atau IL Duce pengganti Hitler atau Mussolini kelak
maka sistem yang akan digunakan pastilah mirip dengan sistem pemilihan Raja di
era Kerajaan Romawi dengan syarat pemilihan itu dilakukan dalam masa damai.
Sumber :
Analisis pribadi mengacu dari berbagai sumber.
0 komentar:
Posting Komentar