Pages

Sabtu, 07 Februari 2015

Sistem Pemerintahan Kerajaan Romawi Autoritaren-Fuhrerstaat

Oleh : Byoma Ganendra

Kerajaan Romawi era Pra-Republik memang menarik. Bagaimana mungkin dalam sebuah negara yang menggunakan sistem monarki, pemimpinnya tidak dipilih berdasarkan garis keturunan, namun ditentukan berdasarkan rapat dari anggota Senat?
Ketika seorang raja Romawi wafat maka Romawi akan memasuki masa Interregnum di mana kekuasaan akan berpindah ke tangan Senat. Senat kemudian akan menunjuk salah satu anggotanya yang diberi nama Interrex untuk menjabat sebagai penguasa sementara sambil memilih calon untuk menjadi raja yang baru. Masa jabatan Interrex sendiri adalah lima hari kemudian atas persetujuan Senat, Interrex akan menunjuk senator lainnya untuk menggantikan tugasnya. Ketika Interrex sudah menemukan calon raja yang baru maka dia akan menyerahkannya kepada Senat. Senat kemudian akan meninjau calon tersebut dan jika sudah disetujui maka Interrex akan memanggil Majelis Curiate untuk bersidang.
Majelis Curiate inilah yang kemudian menyerahkan nama dari calon raja kepada rakyat dan rakyat dapat menentukan pilihannya apakah mereka menerima atau menolak calon tersebut. Bila calon tersebut sudah diterima oleh rakyat maka Raja akan naik tahta. Namun sebelum raja terpilih benar-benar berkuasa, maka raja terpilih terlebih dahulu menajalankan upacara keagamaan yang dipimpin oleh seorang angur dan kemudian menjalani proses serah terima jabatan Majelis Curiate kepada sang raja terpilih. Setelahnya raja terpilih akan sah sebagai penguasa Romawi dan akan berkuasa mutlak layaknya seorang raja.
Dari sini kita melihat bahwa Monarki Romawi awal ternyata tidak menganut sistem monarki yang kita kenal selama ini (kekuasaan berdasarkan garis keturunan). Siapa saja berhak menjadi raja di Romawi setelah melalui seleksi yang dilakukan oleh senat dan disetujui oleh masyarakat Romawi. Asas ketidaksamaan dalam arti kekuasaan kuat Raja dan asas kesamaan dalam arti siapa saja berhak menjadi pemimpin negara berlaku di Romawi pada masa itu.
Situasi ini akan mirip dengan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dicetuskan oleh profesor dari Jerman bernama Otto Koelluter. Beliau mencetuskan adanya bentuk dan sistem dari suatu negara yang menganut kedua asas kekuasaan tersebut secara bersamaan yaitu Autoritaren Fuhrerstaat. Autoritaren Fuhrerstaat merupakan sistem yang dianut oleh negara-negara Fasis di era kejayaan Fasisme dahulu khususnya diterapkan di Jerman dan Italia.
Dalam negara Autoritaren Fuhrerstaat pemilihan dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu yang melibatkan kesatuan-kesatuan sosial dalam masyarakat, Dewan Fasis sebagai organ utama partai Fasis dan juga masyarakat negara itu sendiri. Ketiga elemen penting inilah yang berperan dalam proses pemilihan kekuasaan itu sendiri. Dewan Fasis berperan sebagai penyeleksi atas nama-nama calon yang diajukan oleh tiap-tiap kesatuan sosial masyarakat yang kemudian dapat pula ditambahkan calon dari pihak Dewan Fasis itu sendiri atau Dewan Fasis dapat pula mencoret nama-nama yang diajukan apabila dipandang tidak cocok. Setelah Dewan Fasis menyetujui nama-nama calon maka nama-nama tersebut akan diserahkan kepada masyarakat dan masyarakat dapat menentukan pilihannya apakah setuju atau menolak.
Dari situ dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa tata cara pemilihan di negara Autoritaren Fuhrerstaat memiliki konsep yang sama dengan Kerjaan Romawi era Pra-Republik. Dewan Fasis disini berperan selayaknya Senat sekaligus Majelis Curiate  dalam era Kerajaan Romawi sementara kesatuan-kesatuan sosial dalam masyarakat berperan selayaknya Interrex dan kemiripan lainnya bahwa keduanya melibatkan masyarakat umum dalam proses pemilihan dengan kata lain pemerintah dan partai tunggal bukanlah penentu mutlak atas siapa yang akan duduk di kursi pemerintahan. Hanya saja perbedaannya dalam Kerajaan Romawi sistem tadi digunakan untuk memilih seorang Raja yang memegang kekuasaan baik itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sementara untuk di Autoritaren Fuhrerstaat sistem tersebut baru dipraktekkan saat pemilihan anggota legislatif semata. Kekuatan eksekutif belum sempat dipraktekkan sebab negara-negara Fasis sudah terlebih dahulu runtuh ketika Perang Dunia II berakhir sehingga prosesnya tidak diketahui hingga saat ini.
Namun sekalipun demikian, analisis yang dapat saya simpulkan adalah bahwa seandainya sistem Autoritaren Fuhrerstaat sempat melakukan pemilihan eksekutif untuk menentukan siapakah yang akan menjadi Fuhrer atau IL Duce pengganti Hitler atau Mussolini kelak maka sistem yang akan digunakan pastilah mirip dengan sistem pemilihan Raja di era Kerajaan Romawi dengan syarat pemilihan itu dilakukan dalam masa damai.

Sumber :
Analisis pribadi mengacu dari berbagai sumber.

0 komentar:

Posting Komentar