Pages

Sabtu, 07 Februari 2015

Sistem Pemerintahan Kerajaan Romawi Autoritaren-Fuhrerstaat

Oleh : Byoma Ganendra

Kerajaan Romawi era Pra-Republik memang menarik. Bagaimana mungkin dalam sebuah negara yang menggunakan sistem monarki, pemimpinnya tidak dipilih berdasarkan garis keturunan, namun ditentukan berdasarkan rapat dari anggota Senat?
Ketika seorang raja Romawi wafat maka Romawi akan memasuki masa Interregnum di mana kekuasaan akan berpindah ke tangan Senat. Senat kemudian akan menunjuk salah satu anggotanya yang diberi nama Interrex untuk menjabat sebagai penguasa sementara sambil memilih calon untuk menjadi raja yang baru. Masa jabatan Interrex sendiri adalah lima hari kemudian atas persetujuan Senat, Interrex akan menunjuk senator lainnya untuk menggantikan tugasnya. Ketika Interrex sudah menemukan calon raja yang baru maka dia akan menyerahkannya kepada Senat. Senat kemudian akan meninjau calon tersebut dan jika sudah disetujui maka Interrex akan memanggil Majelis Curiate untuk bersidang.
Majelis Curiate inilah yang kemudian menyerahkan nama dari calon raja kepada rakyat dan rakyat dapat menentukan pilihannya apakah mereka menerima atau menolak calon tersebut. Bila calon tersebut sudah diterima oleh rakyat maka Raja akan naik tahta. Namun sebelum raja terpilih benar-benar berkuasa, maka raja terpilih terlebih dahulu menajalankan upacara keagamaan yang dipimpin oleh seorang angur dan kemudian menjalani proses serah terima jabatan Majelis Curiate kepada sang raja terpilih. Setelahnya raja terpilih akan sah sebagai penguasa Romawi dan akan berkuasa mutlak layaknya seorang raja.
Dari sini kita melihat bahwa Monarki Romawi awal ternyata tidak menganut sistem monarki yang kita kenal selama ini (kekuasaan berdasarkan garis keturunan). Siapa saja berhak menjadi raja di Romawi setelah melalui seleksi yang dilakukan oleh senat dan disetujui oleh masyarakat Romawi. Asas ketidaksamaan dalam arti kekuasaan kuat Raja dan asas kesamaan dalam arti siapa saja berhak menjadi pemimpin negara berlaku di Romawi pada masa itu.
Situasi ini akan mirip dengan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dicetuskan oleh profesor dari Jerman bernama Otto Koelluter. Beliau mencetuskan adanya bentuk dan sistem dari suatu negara yang menganut kedua asas kekuasaan tersebut secara bersamaan yaitu Autoritaren Fuhrerstaat. Autoritaren Fuhrerstaat merupakan sistem yang dianut oleh negara-negara Fasis di era kejayaan Fasisme dahulu khususnya diterapkan di Jerman dan Italia.
Dalam negara Autoritaren Fuhrerstaat pemilihan dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu yang melibatkan kesatuan-kesatuan sosial dalam masyarakat, Dewan Fasis sebagai organ utama partai Fasis dan juga masyarakat negara itu sendiri. Ketiga elemen penting inilah yang berperan dalam proses pemilihan kekuasaan itu sendiri. Dewan Fasis berperan sebagai penyeleksi atas nama-nama calon yang diajukan oleh tiap-tiap kesatuan sosial masyarakat yang kemudian dapat pula ditambahkan calon dari pihak Dewan Fasis itu sendiri atau Dewan Fasis dapat pula mencoret nama-nama yang diajukan apabila dipandang tidak cocok. Setelah Dewan Fasis menyetujui nama-nama calon maka nama-nama tersebut akan diserahkan kepada masyarakat dan masyarakat dapat menentukan pilihannya apakah setuju atau menolak.
Dari situ dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa tata cara pemilihan di negara Autoritaren Fuhrerstaat memiliki konsep yang sama dengan Kerjaan Romawi era Pra-Republik. Dewan Fasis disini berperan selayaknya Senat sekaligus Majelis Curiate  dalam era Kerajaan Romawi sementara kesatuan-kesatuan sosial dalam masyarakat berperan selayaknya Interrex dan kemiripan lainnya bahwa keduanya melibatkan masyarakat umum dalam proses pemilihan dengan kata lain pemerintah dan partai tunggal bukanlah penentu mutlak atas siapa yang akan duduk di kursi pemerintahan. Hanya saja perbedaannya dalam Kerajaan Romawi sistem tadi digunakan untuk memilih seorang Raja yang memegang kekuasaan baik itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sementara untuk di Autoritaren Fuhrerstaat sistem tersebut baru dipraktekkan saat pemilihan anggota legislatif semata. Kekuatan eksekutif belum sempat dipraktekkan sebab negara-negara Fasis sudah terlebih dahulu runtuh ketika Perang Dunia II berakhir sehingga prosesnya tidak diketahui hingga saat ini.
Namun sekalipun demikian, analisis yang dapat saya simpulkan adalah bahwa seandainya sistem Autoritaren Fuhrerstaat sempat melakukan pemilihan eksekutif untuk menentukan siapakah yang akan menjadi Fuhrer atau IL Duce pengganti Hitler atau Mussolini kelak maka sistem yang akan digunakan pastilah mirip dengan sistem pemilihan Raja di era Kerajaan Romawi dengan syarat pemilihan itu dilakukan dalam masa damai.

Sumber :
Analisis pribadi mengacu dari berbagai sumber.

Kemunafikan Liberalisme dalam Gagasan Perdamaian dan Kesetaraan

Oleh : Byoma G.

Pertama, perspektif Liberalisme dalam menyampaikan gagasan mengenai perdamaian dunia terlihat sangat munafik dan penuh kepalsuan. Dalam pandangan realistisnya, konsep-konsep yang ditawarkan kaum Liberalis terlihat sangat palsu. Liberalis selalu menyatakan melalui proses pendemokratisasian maka perdamaian akan tercapai, namun faktanya, justru pendemokratisasian menghasilkan peperangan yang berlarut-larut dan intinya bukan membawa perdamaian, seperti contoh negara-negara seperti Irak  sekarang jatuh ke dalam chaos berkepanjangan akibat hilangnya sosok pemimpin kuat yang legalis yang mampu mempersatukan bangsa Irak dan membuat hukum yang tegas untuk para pembangkang. Serangan Amerika Serikat ke Irak dalam persepktif Liberalis memang dapat diartikan sebagai upaya pendemokratisasian, namun dalam pandangan realistis yang terbukti nyata justru Amerika Serikat mengejar minyak-minyak Irak yang selama pemerintahan Saddam Hussein sudah dinasionalisasi, termasuk program Saddam menasionalisasi seluruh minyak Arab dari cengkraman pihak asing. Selain itu contoh lain seperti Libya yang dimasa Muamar Khadaffi sudah mampu menasionalisasi minyak Libya justru jatuh kedalam chaos setelah revolusi yang didukung oleh AS atas nama pendemokratisasian. Pendemokratisasian ini sebenarnya adalah alasan palsu bagi Liberalis untuk meluaskan pengaruhnya dan cengkramannya terhadap negara lain. Alasan faktor tersebut dapat juga ditelusuri melaluui sejarah lahirnya ide liberalisme itu sendiri. Ide Liberalisme yang dibawa oleh John Locke pada permulaan abad pencerahan (Renaissance Era) memang menjadi fondasi utama bagi ide-ide Kolonialisme Barat terhadap wilayah Timur dan Benua Amerika, karena melalui Liberalisme bangsa Barat kolonialis merasa memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan peradaban dan kebebasan kepada bangsa-bangsa lain yang dianggap barbar atau tidak beradab. Sehingga tidaklah mengherankan apabila Liberalisme pada dasarnya menjadi kunci lahirnya Kolonialisme yang kemudian diikuti oleh Kapitalisme, setelah konsep Kolonialisme tidak hanya mengarah kepada penguasaan secara politis dan budaya, namun juga secara ekonomi yang oleh Neo Kolonialis tetap diikuti hingga saat ini.
 Kedua, kemunafikan dari Liberalis juga terlihat jelas dari ide mengenai free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas yang dipropagandakan mereka sebagai jalan terbaik untuk meningkatkan relasi antar negara, justru sesungguhnya menjadi upaya terbaik bagi mencengkramnya kuku-kuku tajam Kapitalisme yang sangat merugikan negara-negara dunia ke-3. Kapitalis-kapitalis asing akan dengan mudah menguasai negara-negara berkembang dan menggusur perekonomian negara tersebut. Kaum Liberalis akan membantah bahwa “hal tersebut mampu diatasi dengan upaya negara-negara berkembang untuk mendongkrak perekonomian mereka”, namun justru kemunafikan mereka semakin terlihat dari pernyataan mereka sendiri. Pada faktanya negara-negara besar yang menganut Liberalisme dan kapitalisme justru menekan negara-negara berkembang dan berusaha sedapat mungkin negara-negara berkembang tidak dapat memacu roda perekonomian mereka agar negara-negara maju tidak merasa tersaingi. Sikap arogansi ini dapat dilihat sendiri dari bagaimana negara Liberalis besar seperti Amerika Serikat selalu bermain dibalik layar mengacaukan negara-negara yang perekonomiannya sedang berkembang pesat agar tidak mampu menyaingi mereka, sebab pada dasarnya kemajuan ekonomi dari negara berkembang akan mengarah kepada kemandirian ekonomi suatu negara, dan apabila kemandirian ekonomi sudah tercapai maka konsep ketergantungan akan runtuh. Ide-ide ketergantungan negara-negara dunia ke-3 terhadap negara-negara maju merupakan ide yang sangat menguntungkan negara-negara kuat, karena dengan konsep ketergantungan tersebut, maka negara-negara Neokolim mampu mengintervensi negara-negara berkembang dari berbagai segi terutama politik dan ekonomi. Bahkan celakanya dengan alasan perdagangan bebas negara-negara Neo Kolonialis juga dapat melemahkan kekuatan suatu negara, di mana negara yang seharusnya mengontrol dengan kuat apa-apa saja yang terdapat diwilayahnya dan menjadi haknya, pada akhirnya menjadi tidak lebih dari sekedar boneka asing dibawah alasan palsu kebebasan.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa perspktif Liberalisme dalam prakteknya bukannya malah menjunjung perdamaian ataupun kesetaraan namun justru memacu konsep kolonialisme model baru yang kita sebut sebagai Neokolim. Neokolim tumbuh dengan sangat subur melalui persepktif ini sebab dari sini dapat membuka peluang sebesar-besarnya bagi negara-negara Liberal untuk melancarkan ekspansi politik dan ekonomi atas nama kebebasan dan perdamaian dunia.

Sumber:
Analisis pribadi mengacur dari berbagai sumber.

Kisah Mohammad Mosaddegh - Perdana Menteri Iran



Oleh : Byoma G.

Ada yang pernah mendengar nama Muhammad Mossadegh?

Muhammad Mossadegh merupakan Perdana Menteri Iran pada tahun 1951-1953. Pada masa pemerintahannya, Mossadegh dikenal dengan kebijakan beraninya yaitu menyuarakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak di Iran. Sikap Mossadegh tersebut akan mengingatkan kita pada kebijakan serupa di Indonesia oleh Ir Soekarno.
Mohammad Mossadegh terpilih menjadi PM Iran pada tahun 1951. Begitu menjadi PM Iran, perhatian Mossadegh langsung tertuju pada permasalahan penting dalam negeri Iran saat itu yaitu kuatnya dominasi kapitalis asing dalam perekonomian Iran. Iran saat itu masih berupa monarki dengan Shah Reza Pahlevi sebagai penguasa monarki Iran yang terkenal sangat dekat dengan kekuatan-kekuatan Neokolim Kapitalis-Liberalis.
Kebijakan nasionalisasi Mossadegh tergolong sangat berani, hanya dua hari setelah dirinya berkuasa, Mossadegh langsung menasionalisasi perusahaan minyak asing (Anglo Iranian Oil Company/AIOC). Mossadegh menuturkan, “Sudah bertahun-tahun kami bernegosiasi dengan perusahaan asing, tetapi tidak ada hasil. Dengan pendapatan minyak kami memenuhi kebutuhan anggaran kami dan memerangi kemiskinan, penyakit dan keterbelakangan rakyat kami.” Pernyataan Mossadegh tersebut jelas menunjukkan sikap nasionalis sejati dari dirinya yang menentang segala bentuk dominasi asing terhadap tanah airnya.
Nasionalisasi tersebut membuat dirinya dicap sebagai pahlawan bagi bangsa Iran yang telah menyelamatkan Iran dari ketergantungan ekonomi asing.
Kebijakan nasionalisasi Mossadegh tersebut mendapat dukungan dari Partai Komunis Iran (Tudeh), namun meski demikian perlu diingat bahwa Mossadegh bukanlah seorang Komunis. Dirinya adalah seorang nasionalis tulen. Garis politik luar negri Mossadegh tetaplah tidak memihak kepada blok Komunis maupun Kapitalis. Mossadegh menerapkan kebijakan nasionalisasinya bukan untuk menyenangkan salah satu blok (Komunis maupun Kapitalis) namun semata-mata hanya untuk Iran yang dicintainya. Tuduhan-tuduhan Mossadegh hendak mendorong Iran menjadi satelit USSR terlontar dari pihak Neokolim yang ingin menjatuhkan citra dari seorang Mossadegh. Cara yang sama yang dilakukan untuk meruntuhkan pamor Soekarno di mata rakyat Indonesia.
Sayangnya kiprah Mossadegh dalam kancah perpolitikan Iran tidaklah panjang. Mossadegh kemudian jatuh melalui kudeta yang sudah dirancang oleh pihak Neokolim yang khawatir dengan sikap dan kebijakannya yang sangat nasionalis. Pihak Neokolim yakin bahwa kebijakan Mossadegh tersebut akan ditiru oleh negara-negara dunia ketiga lainnya sehingga pada akhirnya karir Mossadegh harus diakhiri dengan cara apapun. Meski demikian, Mossadegh telah meletakkan dasar-dasar penting bagi kebijakan anti Neokolim di Iran dan namanya akan tetap dikenang sebagai pahlawan nasionalis bagi bangsa Iran.


Sumber :
Analisis pribadi mengacu dari beberapa sumber

Kamis, 25 Desember 2014

Perang Rusia-Jepang dan Pengaruhnya di Kawasan Asia





Oleh    :  Byoma Ganendra

Perang Rusia Jepang merupakan salah satu fenomena sejarah yang penting di wilayah Asia. Bagi bangsa Asia, perang Rusia-Jepang merupakan titik awal dari kebangkitan bangsa-bangsa di Asia melawan dominasi Kolonialis Barat yang sudah berkuasa di Asia sejak era Kolonialisme. Jepang yang keluar sebagai pemenang perang dianggap sebagai negara yang telah membangkitkan kembali rasa percaya diri dan harga diri bangsa Asia untuk bangkit dan melawan sekuat tenaga agar dapat mengusir pengaruh Barat dari bumi Asia.
Perang Rusia Jepang terjadi antara tahun 1904-1905 merupakan pertempuran besar-besaran antara kekuatan lama yang diwakili oleh Kekaisaran Rusia dan kekuatan baru yang diwakili oleh Kekaisaran Jepang. Perang tersebut terjadi karena adanya pergesekan antara dua kekuatan tersebut terkait kepentingan untuk memperlebar pengaruh di kawasan Asia Timur.
Kekaisaran Rusia merupakan salah satu kekuatan besar di Eropa yang sedang berusaha melebarkan sayapnya ke kawasan Timur Jauh. Perluasan pengaruh Rusia ke Timur Jauh juga didorong oleh   "Politik Air Hangat dimana Rusia berusaha untuk mencari wilayah yang perairannya tidak membeku di musim dingin sebagai basis kekuatan lautnya. Hal ini dikarenakan cuaca ekstrem di Rusia memungkinkan setiap perairan di wilayahnya membeku selama musim dingin. Industrialisasi dan modernisasi Rusia semasa pemerintahan Tsar Peter I Yang Agung telah berhasil membawa Rusia menjadi negara yang kuat sehingga Rusia merasa mampu merealisasikan keinginannya tersebut dan terjun ke dalam persaingan kolonialisme dengan negara-negara Barat lainnya di Timur Jauh.
Sementara itu di Asia kekuatan baru sedang bertumbuh dengan pesatnya. Kekaisaran Jepang yang awalnya merupakan negara tertutup pada masa keshogunan Tokugawa telah menjelma menjadi negara industri yang kuat dan moderen sebagai akibat dari Restorasi Meiji. Pembangunan industri yang pesat di Jepang diikuti dengan pertumbuhan militernya yang pesat. Jepang menjadi salah satu pemain baru dalam kancah percaturan politik di Timur Jauh sekitar abad ke-19 dan ke-20. Pengaruh Jepang di kawasan Asia Timur juga semakin menguat seiring dengan melemahnya kekuatan Kekaisaran China yang sudah keropos. Jepang berhasil memenangkan perang melawan China (Perang Sino-Jepang I) dan mendapatkan Korea, Semenanjung Liaodong, Pesdacores, Port Arthur  dan pulau Formosa (Taiwan). Dengan demikian kekuatan Jepang semakin besar dan pengaruhnya semakin kuat di kawasan Asia.
Awal dari pergesekan kepentingan antara Rusia dan Jepang sebenarnya dimulai sejak kemenangan Jepang dalam Perang Sino Jepang I. Perjanjian Shimosenki yang mengakhiri perang tersebut membuat Jepang berhasil menguasai daerah-daerah kekuasaan/jajahan Kekaisaran China seperti Korea, Pesdacores, Semenanjung Liaodong , Port Arthur dan Formosa (Taiwan). Dengan menancapnya pengaruh Jepang di daratan Asia Timur artinya mengacam kepentingan Rusia di kawasan tersebut.  Perancis dan Jerman melalui intervensi tiga negara pada 23 April 1895, bersama Rusia kemudian berusaha menangkal pengaruh Jepang dengan menekan Jepang untuk mundur dari Port Arthur. Rusia sendiri diam-diam lalu membicarakan perjanjian penyewaan pangkalan Angkatan Laut dengan Kekaisaran China selama 25 tahun termasuk Port Arthur. Tindakan tersebut lalu disusul dengan pendudukan pasukan Rusia atas wilayah Manchuria dan mengancam Korea. Tindakan Rusia ini sebenarnya membuat geram Jepang, sebab bagaimana pun juga Rusia tampak jelas tidak menghormati hasil perjanjian Shimosenki antara China dan Jepang dan wilayah-wilayah yang diklaim Rusia tersebut seharusnya merupakan wilayah pengaruh Jepang yang didapat Jepang dengan susah payah setelah berperang melawan Dinasti Qing (China). Namun segeram-geramnya Jepang, Jepang memutuskan untuk mundur terlebih dahulu mengingat kekuatan Rusia saat itu cukup besar dan Jepang menolak untuk bertindak gegabah. Namun mundurnya Jepang bukan berarti Jepang menyerah begitu saja terhadap superioritas kekuatan Rusia, Jepang justru menyusun taktik baru untuk mampu merebut kembali wilayah-wilayah pengaruhnya di daratan Asia Timur tersebut.
Strategi baru yang kemudian ditempuh Jepang untuk mengembalikan pengaruhnya atas dataran Asia Timur adalah melalui jalur diplomasi. Jepang berusaha untuk mendekati baik negara rivalnya (Rusia) maupun negara-negara diluar itu seperti Inggris dan Kekaisaran China. Dengan Rusia, Jepang berusaha untuk mendapatkan pengakuan Rusia atas kepentingan Jepang di kawasan Asia Timur. Jepang juga meminta agar Rusia tidak mengancam Korea dan angkat kaki dari wilayah Manchuria (wilayah yang seharusnya dikuasai Jepang setelah kemenangan Jepang dalam perang Sino Jepang I). Rusia sendiri bersikeras untuk tetap mempertahankan ekstitensinya di kawasan Asia Timur dan menolak permintaan Jepang. Bahkan Rusia tetap bersikeras bahwa Jepang tidak akan dapat bebas menancapkan pengaruhnya di Asia Timur terutama di wilayah Korea. Perundingan antara Jepang dan Rusia tersebut menemui jalan buntu yang kelak menjadi titik awal peperangan antara kedua negara. Selain Rusia, Jepang juga mendekati Inggris. Belajar dari pengalaman intervensi tiga negara yang membuat Jepang kehilangan pengaruh yang baru didapatkannya di daratan Asia Timur, Jepang berpikir bahwa untuk menang maka diperlukan dukungan atau sekutu yang kuat. Inggris bagi Jepang merupakan pilihan yang tepat karena Inggris juga memiliki kedudukan yang kuat di China maka Jepang membutuhkan Inggris untuk melindungi kepentingannya di kawasan Asia Timur khususnya di Korea dan Manchuria yang diperebutkan dengan Rusia. Pada tanggal 30 Januari terbentuklah Aliansi Jepang-Inggris yang ditandatangani oleh Hayasi Tadasu (Duta besar Jepang untuk Inggris) dan Landsdown (Sekertaris Menlu Inggris) di London. Isi dari perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal I
Jepang dan Inggris mengakui kedaulatan Korea dan China. Jepang mengakui kepentingan politik, ekonomi, dan industri Inggris di China dan sebaliknya Inggris mengakui kepentingan politik, ekonomi, dan industri Jepang di Korea. Kedua negara boleh mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingannya dari ancaman negara lain maupun gangguan dalam negeri.
Pasal II
Jika salah satu dari Inggris atau Jepang terlibat perang dengan negara negara lain, maka negara yang lain (Jepang atau Inggris) akan bersikap netral.
Pasal III
Jika salah satu negara menghadapi lawan lebih dari satu, maka negara yang lain akan memberikan bantuan.
Pasal IV
Inggris dan Jepang tidak akan melakukan kesepakatan dengan negara lain yang akan merugikan kesepakatan ini.
Pasal V
Jika dalam pendapat antara Jepang dan Inggris kepentingan yang telah dijelaskan tersebut berada dalam bahaya, maka kedua pemerintahan akan melakukan perundingan.
Pasal VI
Perjanjian tersebut berlaku secepatnya setelah penandatanganan dan akan berlaku sampai lima tahun sejak penandatanganan

Dengan perjanjian tersebut Jepang sudah merasa aman untuk membuat langkah baru dengan dukungan kuat dari pihak Inggris. Selain Inggris, Jepang juga berdiplomasi dengan Kekaisaran China yang menjadi musuhnya dalam perang sebelumnya. Pengaruh China dirasakan oleh Jepang sangat penting dalam upaya menghancurkan kekuatan Rusia di kawasan Asia Timur, sebab Jepang melihat China akan memberikan keuntungan besar dari segi geografis, logistik bahkan bantuan militer untuk menghadapi Rusia, karenanya Jepang berusaha untuk menarik China ke pihaknya. Namun China menolak tawaran Jepang. China merasa bahwa dengan memihak Jepang, maka China akan terancam sebab Rusia telah menancapkan kekuatannya di Manchuria yang jelas juga mengancam posisi China. Mengetahui penolakan China,
Jepang kemudian mengambil langkah kedua yaitu mengusahakan agar China bersikap netral jika pecah perang antara Rusia dan Jepang. Bantuan China terhadap Rusia akan menghambat kemenangan Jepang, apalagi Rusia yang pernah membantu China dalam menangkal pengaruh Jepang di kawasan Asia Timur, dikahwatirkan China juga akan bersimpati kepada Rusia. Jika sampai Jepang terlibat perang lagi dengan China maka Jepang tidak hanya menghadapi aliansi Rusia- China namun juga seluruh negara-negara Eropa yang memiliki kepentingan di wilayah China. Namun China pada akhirnya meyakinkan Jepang bahwa pihaknya akan mengambil posisi netral dalam perseteruan antara Rusia dan Jepang. Sikap China tersebut membuat Jepang lega dan melapangkan usaha Jepang untuk menghadapi Rusia.
Selain dengan China, Jepang juga melihat Korea sebagai wilayah yang berpotensi tinggi untuk mendukung kemenangannya melawan Rusia. Korea sebelumnya adalah wilayah jajahan China yang kemudian direbut Jepang setelah Jepang mengalahkan China dalam Perang Sino-Jepang I namun karena adanya intervensi tiga negara, maka Jepang melepaskan pengaruhnya atas Korea. Kini Jepang berencana untuk menjadikan Korea sebagai basis pergerakan militernya untuk menghadapi Rusia. Korea kemudian menjadi salah satu basis utama Jepang untuk menggempur Rusia dalam Perang Rusia-Jepang.
Langkah-langkah yang diambil Jepang tersebut telah mengamankan posisi Jepang dalam perseteruannya dengan Rusia. Perundingan-perundingan yang gagal antara Jepang dan Rusia membuat Jepang berpikir bahwa tidak ada jalan lain selain berperang dengan pihak Rusia. Jepang mulai mempersiapkan kekuatannya. Aliansi dengan Inggris dan kenetralan China menjadi jaminan bagi Jepang untuk dapat langsung menusuk Rusia tanpa adanya halangan lagi. Pada tanggal 6 Februari 1904, Jepang menyerbu pangkalan Angkatan Laut Rusia di Port Atrhur dan menandai pecahnya Perang Rusia Jepang (Perang Ruso-Jepang). Serangan awal Jepang ke Port Arthur menciptakan suatu kurungan terhadap Armada Timur Jauh Rusia yang berpangkalan di Port Arthur. Untuk mempercepat kemenangan, Jepang memutuskan untuk membawa pertempuran ke daratan. Pada tanggal 13 April 1904 pasukan Jepang mendarat di Icheon Korea dan kemudian menguasai seluruh Korea untuk bersiap-siap melakukan penyerbuan ke wilayah Manchuria yang diduduki oleh Rusia. Rusia lalu mendatangkan balabantuan melalui jalur kereta api Trans-Siberia untuk memperkuat posisinya di Manchuria. Pada tanggal 1 Mei 1904 pasukan Jepang menyerbu posisi pasukan Rusia di Sungai Yalu, Manchuria. Jepang tidak mendapat perlawanan yang berarti dalam pertempuran di sungai Yalu dan sukses memukul mundur pasukan Rusia, namun dalam pertempuran Nanshan pada tanggal 25 Mein 1904 pasukan Rusia mampu menahan laju pasukan Jepang.  Meski demikian, Rusia tetap tidak mampu membendung arus pergerakan pasukan Jepang yang semakin membanjiri wilayah Manchuria. Port Arthur sendiri akhirnya jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 2 Januari 1905. Dengan jatuhnya Port Arthur, Rusia kini hanya bisa berharap akan datangnya bala bantuan dari Armada Baltik yang sedang dalam perjalanan untuk menggempur posisi Jepang yang semakin menguat di wilayah Manchuria. Namun harapan tersebut sirna setelah Armada Baltik yang merupakan armada kebanggaan Kekaisaran Rusia dihancurkan oleh Jepang dalam Pertempuran di Selat Tsushima. Kehancuran armada Baltik ini memberikan kesempatan besar bagi Jepang untuk terus menusuk ke wilayah Manchuria dan menghancurkan kekuatan Rusia yang tersisa. Jepang bahkan sukses menguasai wilayah Rusia di kepulauan Sakhalin Selatan. Sedikit demi sedikit pengaruh Rusia semakin terkikis dan akhirnya peperangan diakhiri pada tahun 1905 melalui perundingan antara Rusia dan Jepang di Portsmouth, New Hampshire (Perjanjian Portsmouth). Dalam perjanjian Portsmouth tersebut Jepang berhasil mendapatkan kembali wilayah pengaruhnya yang hilang setelah peristiwa intervensi tiga negara mencakup semenanjung Liaodong dan Kepulauan Sakhalin. Posisi Jepang di Korea juga berhasil diamankan dan ancaman Rusia dari arah Manchuria berhasil disingkirkan. Walau dalam perjanjian ini, Rusia menolak dikatakan sebagai pihak yang kalah, namun faktanya Rusia telah kalah. Pasukan Rusia dan Armada Baltiknya telah dihancurkan oleh kekuatan Jepang dan dalam perjanjian Portsmouth Rusia telah kehilangan wilayah-wilayah pengaruhnya di Asia Timur kepada Jepang.
Kekalahan Rusia dalam perang Rusia Jepang menjadi titik awal keruntuhan Imperium Rusia dan berakhirnya dominasi Kekaisaran Rusia atas wilayah Timur Jauh. Sebaliknya Jepang menjelma menjadi kekuatan besar setelah berhasil mengalahkan Rusia. Jepang berhasil mendapatkan kembali wilayah pengaruhnya dan menancapkan dengan kuat pengaruhnya di kawasan Asia Timur. Bagi bangsa Asia umumnya, kemenangan Jepang atas Rusia menandai awal dari kebangkitan bangsa Asia melawan dominasi Barat di kawasan Timur Jauh. Barat selama ini selalu digambarkan sebagai kekuatan besar yang tidak tertandingi namun mitos tersebut berhasil diruntuhkan dengan kemenangan besar Jepang dalam perang melawan Rusia.
Kepercayaan diri bangsa Asia mulai tumbuh dan semangat untuk melawan dominasi Barat di tanah Asia semakin meningkat termasuk di Indonesia yang saat itu masih dijajah Belanda. Di mata Kolonialis Barat bangkitnya kekuatan Jepang sekaligus merupakan ancaman bagi kekuasaan kolonial mereka di Timur Jauh. Kekalahan Rusia dalam peperangan melawan Jepang membuat bangsa Barat harus memperhitungkan Jepang sebagai salah satu kekuatan besar di dunia yang mampu mendominasi kawasan Timur Jauh sehingga mereka (pihak Barat) berusaha melakukan berbagai macam cara untuk membendung pengaruh Jepang yang semakin meluas.

Sumber:
Analisis pribadi mengacu dari beberapa sumber